Kata “Ibu” dibulan Desember utamanya 22 Desember menjadi hal yang sangat istimewa. Begitu istimewanya predikat Ibu lekat dengan energi kosmik menghangatkan sekaligus simbol doa restu yang begitu dijunjung tinggi, bukan hanya isapan jempol bahkan banyak cerita legenda maupun kisah nyata yang bertebaran mengisahkan betapa mulianya predikat seorang Ibu.
Menyambut datangnya hari istimewa yang dipersembahkan kepada yang berstatus “Ibu” tak luput pula bertebaran Puisi bertema Ibu menjadi bahasan yang hangat dan menjadi tema dibanyak info lomba puisi yang bertebaran di Instagram maupun dimedia sosial yang lain.
Tak hanya sebagai ikon lomba puisi bertajuk Ibu, namun banyak penyair mendadak membuat Puisi maupun sajak yang dipersembahkan khusus buat seorang “Ibu” yang sempat saya membacanya diposting diberanda facebook sebagai kado special yang dihadiahkan buat ibu mereka.
Terharu ketika membacanya berbalut pilihan diksi yang khusus dipilih untuk menggambarkan hebatnya dan agungnya seorang Ibu sebagi simbol kasih sayang dan doa
Tak luput pula seorang W.S. Rendra yang memiliki nama lengkap
Willibrordus Surendra Broto Rendra
Seorang penyair, dramawan, dan juga sutradara teater sekaligus pendiri Bengkel Teater di Yogyakarta, yang pada tahun 1985 karena situasi politik Bengkel Teater di pindahkan ke Depok
Penyair W.S. Rendra yang lahir 7 November 1935 mencipta puisi IBU dengan bahasa yang anggun menggambarkan sosok ibu, betapa penyair yang karyanya terkenal tidak hanya didalam negeri namun sampai ke manca negara mengagungkan sosok seorang ibu dengan bahasa klise yang luar biasa melangit, hangat, dan penuh penghayatan.
Selengkapnya kita simak puisi – puisi berikut :
"Sajak Ibunda"
Karya : WS Rendra
Mengenangkan ibu
adalah mengenangkan buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk-pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna
kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senja kala.
Keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.
Mengingat ibu
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan manusia.
Melihat foto ibu,
aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.
Maling juga punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, fasis,
wartawan amplop, anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Apakah sang anak akan berkata kepada ibunya:
“Ibu aku telah menjadi antek modal asing;
yang memproduksi barang-barang yang tidak mengatasi
kemelaratan rakyat,
lalu aku membeli gunung negara dengan harga murah,
sementara orang desa yang tanpa tanah
jumlahnya melimpah.
Kini aku kaya.
Dan lalu, ibu, untukmu aku beli juga gunung
bakal kuburanmu nanti.”
Tidak. Ini bukan kalimat anak kepada ibunya.
Tetapi lalu bagaimana sang anak
akan menerangkan kepada ibunya
tentang kedudukannya sebagai
tiran, koruptor, hama hutan,
dan tikus sawah?
Apakah sang tiran akan menyebut dirinya
sebagai pemimpin revolusi?
Koruptor dan antek modal asing akan
menamakan dirinya sebagai pahlawan pembangunan?
Dan hama hutan serta tikus sawah akan
menganggap dirinya sebagai petani teladan?
Tetapi lalu bagaimana sinar pandang mata ibunya?
Mungkinkah seorang ibu akan berkata:
“Nak, jangan lupa bawa jaketmu.
Jagalah dadamu terhadap hawa malam.
Seorang wartawan memerlukan kekuatan badan.
O, ya, kalau nanti dapat amplop,
tolong belikan aku udang goreng.”
Ibu, kini aku makin mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia Raya.
Kamu adalah hujan yang dilihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat nurani di dalam kelakuanku.
(Pejambon, Jakarta 1977)
"Ibu"
Oleh : Chairil Anwar
Pernah aku ditegur
Katanya untuk kebaikan
Pernah aku dimarah
Katanya membaiki kelemahan
Pernah aku diminta membantu
Katanya supaya aku pandai
Ibu...
Pernah aku merajuk
Katanya aku manja
Pernah aku melawan
Katanya aku degil
Pernah aku menangis
Katanya aku lemah
Ibu...
Setiap kali aku tersilap
Dia hukum aku dengan nasihat
Setiap kali aku kecewa
Dia bangun di malam sepi lalu bermunajat
Setiap kali aku dalam kesakitan
Dia ubati dengan penawar dan semangat
dan bila aku mencapai kejayaan
Dia kata bersyukurlah pada Tuhan
Namun...
Tidak pernah aku lihat air mata dukamu
Mengalir di pipimu
Begitu kuatnya dirimu
Ibu...
Aku sayang padamu
Tuhanku....
Aku bermohon pada-Mu
Sejahterahkanlah dia
Selamanya...
“JANGAN TAKUT IBU”
Oleh : W.S. Rendra
Matahari musti terbit.
Matahari musti terbenam.
Melewati hari-hari yang fana
ada kanker payudara, ada encok,
dan ada uban.
Ada gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,
Bupati mengunyah aspal,
Anak-anak sekolah dijadikan bonsai.
Jangan takut, Ibu!
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
meningkatkan penindasan.
Manusia musti lahir.
Manusia musti mati.
Di antara kelahiran dan kematian
bom atom dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki,
serdadu-serdadu Jepang memanggal kepala patriot-patriot Asia,
Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro,
Terotis Amerika meledakkan bom di Oklahoma
Memanggang orangtua, ibu-ibu dan bayi-bayi,
di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,
serdadu Inggris membantai para pemuda di Irlandia,
orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman.
Jangan takut, Ibu!
Jangan mau gigertak.
Jangan mau diancam.
Karena ketakutan
meningkatkan penjajahan.
Sungai waktu
menghanyutkan keluh-kesah mimpi yang meranggas.
Keringat bumi yang menyangga peradaban insane
Menjadi uranium dan mercury.
Tetapi jangan takut, ibu!
Bulan bagai alis mata terbit di ulu hati.
Rasi Bima Sakti berzikir di dahi.
Aku cium tanganmu, Ibu!
Rahim dan susumu adalah persemaian harapan.
Kekuatan ajaib insan
Dari zaman ke zaman.
Hamburg, 30 September 2003
HAI MA,
Oleh : WS. Rendra
Ma,
bukan maut yang menggetarkan hatiku
Tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya
Ada malam-malam aku menjalani
lorong panjang tanpa tujuan kemana-mana
Hawa dingin masuk ke badanku yang hampa
padahal angin tidak ada
Bintang-bintang menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan kehadiran kegelapan
Tidak ada pikiran, tidak ada perasaan,
tidak ada suatu apa…..
Hidup memang fana Ma,
Tetapi keadaan tak berdaya
membuat diriku tidak ada
Kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara,
dijauhi ayah bunda dan ditolak para tetangga
Atau aku terlantar di pasar, aku berbicara
tetapi orang-orang tidak mendengar
Mereka merobek-robek buku
dan menertawakan cita-cita
Aku marah, aku takut, aku gemetar,
namun gagal menyusun bahasa
Hidup memang fana Ma,
itu gampang aku terima
Tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savanna
membuat hidupku tak ada harganya
Kadang-kadang aku merasa
ditarik-tarik orang kesana-kemari,
mulut berbusa sekedar karena tertawa
Hidup cemar oleh basa-basi dan
orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan, atau percintaan tanpa asmara,
dan senggama yang tidak selesai
Hidup memang fana, tentu saja Ma
Tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku
lalu mendorong aku menjerit-jerit sambil tak tahu kenapa
Rasanya setelah mati berulang kali
tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini
Tetapi Ma,
setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku
Kelenjar-kelenjarku bekerja, sukmaku menyanyi,
dunia hadir, cicak di tembok berbunyi,
tukang kebun kedengaran berbicara kepada putranya
Hidup menjadi nyata, fitrahku kembali
Mengingat kamu Ma
adalah mengingat kewajiban sehari-hari
Kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi
Kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma
Masing-masing pihak punya cita-cita,
masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata
Hai Ma,
apakah kamu ingat aku peluk kamu di atas perahu
Ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu
Masya Allah, aku selalu kesengsam dengan bau kulitmu
Ingatkah waktu itu aku berkata :
Kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna
Wuah aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini
Dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa bahwa
Kemaren dan esok adalah hari ini
Bencana dan keberuntungan sama saja
Langit di luar langit di badan bersatu dalam jiwa
Sudah ya Ma…
Jakarta, Juli 1992
Teruntuk para Ibu yang luar biasa dalam menghadapi setiap derita, menyimpan setiap tetes air mata, berjuang dalam setiap langkah demi keluarga tercinta.
4 Komentar
Semangat nulisnya ka
BalasHapusTrimksh sudah berkunjung
BalasHapusPiusi yang luar biasa. Sangat menyentuh kalbu bagi siapa saja yang membacanya. Tak heran penulisny dikenal sebahai penyair sejagat. Terima kasih telah berbagi, ananda Nita. Tetaplah aktif menulis ya.
BalasHapusTerimakasih bunda Nur atas kunjungan dan supportnya
Hapus